Artikel GCG, IFRS, dan CSR

Artikel GCG

Penilaian (Assessment) GCG
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memiliki komitmen untuk selalu menerapkan standar tata kelola yang terbaik dengan selalu berusaha untuk menerapkan praktik tata kelola yang baik melalui berbagai usaha perbaikan dan peningkatan, serta tidak hanya merujuk pada minimal standar maupun rekomendasi yang harus dipenuhi. Sesuai ketentuan Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara, yang mengatur bahwa setiap BUMN wajib untuk melakukan pengukuran terhadap penerapan GCG, melalui penilaian (assessment) yang dilaksanakan setiap 2 tahun oleh penilai independen dan melalui evaluasi (review) yang dilakukan sendiri oleh BUMN (self assessment) yang meliputi evaluasi terhadap hasil penilaian yang dilakukan oleh pihak independen dan tindak lanjut atas rekomendasi perbaikan yang disampaikan dari hasil akhir penilaian. Konsisten dengan komitmen tersebut, untuk tahun 2011 Garuda Indonesia telah menunjuk pihak independen untuk melakukan kajian terhadap praktik tata kelola di Garuda Indonesia dengan menggunakan pembanding Pedoman Umum GCG Indonesia dan Company Corporate Governance (CCG) Scorecard yang merupakan kerangka acuan pelaksanaan assessment dan reassessment penerapan GCG di BUMN.
Dari hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan penerapan GCG di Garuda Indonesia dibandingkan hasil assessment sebelumnya di tahun 2009 yang dilakukan oleh BPKP. Peningkatan signifikan ditemukan pada penerapan Keputusan Menteri Negara BUMN RI No.KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG, penilaian yang dilakukan dengan menggunakan indikator dalam Company Corporate Governance Scorecard yang merupakan lampiran dari Surat Menteri Negara BUMN RI No.S-168/MBU/2008, juga menunjukkan adanya peningkatan, khususnya pada aspek Hak dan Tanggung Jawab Pemegang Saham/RUPS, Kebijakan Good Corporate Governance, Penerapan Good Governance, dan Komitmen. Berdasarkan kriteria penilaian yang sudah ditetapkan dalam Surat Menteri Negara BUMN RI No.S168/MBU/2008 tersebut, hasil penilaian menggunakan Company Corporate Governance (CCG) Scorecard menunjukkan hasil SANGAT BAIK, dengan total nilai penerapan sebesar 91,87.
Ringkasan hasil pemeriksaan: Penilaian Penerapan Parameter GCG Scorecard
Aspek Pengujian
% Capaian
2009
2011
I. Hak dan Tanggung Jawab Pemegang Saham/RUPS
6,99
7,96
II. Kebijakan Good Corporate Governance
6,84
7,59
II. Penerapan Good Corporate Governance


A. Komisaris
19,42
25,42
B. Komite Komisaris
5,29
5,03
C. Direksi
22,21
25,27
D. Satuan Pengawasan Intern – SPI
2,66
2,85
E. Sekretaris Perusahaan
2,70
2,73
IV. Pengungkapan Informasi (Disclosure)
6,64
5,92
V. Komitmen
8,05
9,11
Skor Keseluruhan
80,79
91,87
Peringkat Kualitas Penerapan GCG
BAIK
SANGAT BAIK

Perusahaan mengikuti riset pemeringkatan implementasi GCG yang diselenggarakan oleh The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG). Tema riset pemeringkatan tahun 2010 adalah “GCG dalam perspektif Etika”. Riset dilakukan dengan metode studi dokumentasi, kuesioner, wawancara dan observasi.
Berdasarkan hasil riset tersebut Perusahaan mendapatkan skor 85,82 dan masuk dalam kategori Most Trusted Company. Dalam riset kali ini, Perusahaan berhasil meraih tiga penghargaan yakni Most Trusted Company Based on Corporate Governance Perception Index (CGPI) 2010, Indonesia Trusted Companies Based on Investors and Analysis Assessment Survey dan sebagai peserta Corporate Governance Perception Index (CGPI) 2010 terbaik dalam tahapan observasi. 

Artikel IFRS
IFRS: Principles-Based Accounting Standards
5 January 2012
Dukungan terhadap International Financial Reporting Standards (IFRS) sebagai standar tunggal pelaporan keuangan yang berkualitas semakin meluas. Semakin banyak negara yang mengadopsi IFRS, sehingga pada akhirnya IFRS dapat digunakan di seluruh dunia.
Dukungan terhadap IFRS disebabkan karena IFRS merupakan standar yang berbasis lebih pada prinsip (principles-based standards) dibandingkan dengan standar akuntansi yang diakui di Amerika (Generally Accepted Accounting Principles) yang lebih berbasis pada aturan (rules-based standards).
Pada dasarnya, tidak ada standar yang murni berbasis aturan atau yang murni berbasis prinsip. Setiap standar akuntansi akan berada pada spektrum antara aturan dan prinsip.
Standar akuntansi yang berbasis prinsip memuat prinsip-prinsip umum, yang mengandalkan pada interpretasi dan pertimbangan penyusun laporan keuangan. Standar berbasis prinsip memuat pedoman yang lebih umum yang dimulai dengan tujuan umum dan prinsip-prinsip tanpa memberikan pedoman rinci. Hal ini menjadikan IFRS lebih sederhana dan lebih fleskibel dalam persyaratan akuntansi dan pengungkapannya.
Sedangkan standar akuntansi yang berbasis aturan memuat seperangkat aturan, yang membatasi fleksibilitas dan penggunaan pertimbangan profesional. Standar akuntansi yang berbasis aturan berisi pedoman rinci yang harus diikuti ketika perusahaan menyiapkan laporan keuangan. Pedoman tersebut didasarkan pada asumsi bahwa manajemen memerlukan pedoman yang menjamin bahwa transaksi dilaporkan dengan tepat dan konsisten. Pedoman rinci tersebut menjadikan standar tersebut lebih panjang dan lebih kompleks.
Standar akuntansi berbasis aturan biasanya hanya berlaku untuk suatu industri tertentu, sedangkan standar akuntansi yang berbasis prinsip tidak mengatur untuk suatu jenis industri tertentu.
Standar akuntansi yang berbasis prinsip memberi dasar konseptual bagi akuntan ketimbang daftar aturan rinci. Pada presentasinya di Financial Executives International (2002), Robert Herz, Chairman of Financial Accounting Standard Board (FASB) menjelaskan pendekatan yang berbasis prinsip. Pendekatan berbasis prinsip dimulai dengan menetapkan tujuan utama pelaporan dan kemudian memberikan pedoman yang menjelaskan tujuan tersebut dan mengaitkannya dengan beberapa contoh.
Setiap standar akuntansi memiliki kelebihan dan kelemahan, demikian pula dengan standar akuntansi yang berbasis prinsip dan yang berbasis aturan. Kelebihan utama standar akuntansi yang berbasis prinsip adalah terletak pada pedoman umum yang dapat diterapkan pada berbagai situasi, yang fleksibel dalam menghadapi lingkungan yang baru. Sebaliknya, standar akuntansi yang berbasis aturan dipandang kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Pedoman umum dapat mencegah perusahaan terperangkap dalam suatu persyaratan kaku yang memungkinkan suatu kontrak ditulis dengan tujuan untuk memanipulasi maksud kontrak tersebut. Misalnya, manajer mengakui suatu kontrak sewa (lease) sebagai sewa operasi untuk menghindari terjadinya liabilitas. Pedoman umum akan mendorong penyajian laporan keuangan dengan sebenarnya (representational faithfulness).
Sedangkan standar berbasis aturan dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengelola laporan akuntansi, ketimbang melaporkan substansi ekonomi transaksi. Sebagai contoh, apa yang telah dilakukan oleh Enron dengan tidak melaporkan Special Purpose Entity (SPE) yang dimilikinya dari laporan posisi keuangan (off-balance sheet) karena hanya mencapai 3% kepemilikian ekuitas luar. Enron mampu menstruktur transaksi untuk menghasilkan perlakuan akuntansi yang diinginkan meskipun tidak mencerminkan transaksi yang sebenarnya.
Pertimbangan Profesional
Kelebihan lainnya adalah, standar akuntansi yang berbasis prinsip memungkinkan akuntan untuk menerapkan pertimbangan profesional dalam menilai substansi suatu transaksi. FASB Chair Robert Herz menyakini bahwa profesionalisme dalam penyajian laporan keuangan akan meningkat jika akuntan diharuskan untuk menggunakan pertimbangan profesional mereka dibandingkan dengan hanya mengandalkan aturan-aturan rinci. Standar akuntansi yang berbasis prinsip memudahkan keseragaman penyajian dan pelaporan laporan keuangan yang bertujuan umum (general purpose financial statements) yang diterbitkan setiap tahun. Keseragaman laporan keuangan tersebut sangat bermanfaat bagi investor dan pengguna laporan keuangan lainnya dalam menilai prospek investasi pada perusahaan yang berbeda dalam negara yang berbeda.
Di balik kelebihannya, standar akuntansi yang berbasis prinsip juga memiliki kelemahan. Karena mengandalkan pada pertimbangan individual dalam menginterpretasi dan mengimplementasikan standar, maka kemungkinan dapat digunakan untuk memanipulasi data dan hasil keuangan. Sedangkan pada standar akuntansi berbasis aturan, karena berisi aturan-aturan yang lebih rinci, maka standar tersebut lebih mudah untuk diterapkan dan tidak memerlukan pertimbangan profesional. Adakalanya aturan rinci ini lebih disukai karena kemungkinan terjadinya tuntutan hukum terhadap akuntan lebih kecil. Ketiadaan aturan dapat mengakibatkan tuntutan hukum jika akuntan tidak tepat dalam menggunakan pertimbangan profesionalnya.
Pada standar akuntansi yang berdasarkan prinsip, kurangnya pedoman yang jelas menyebabkan ketidakkonsistenan dalam penerapan standar antar organisasi, sehingga sulit untuk membandingkan satu perusahaan dengan perusahaan lain. Sebagai contoh, dengan tidak adanya pedoman yang jelas, bagaimana perusahaan dapat menentukan bahwa suatu liabilitas itu kemungkinan besar terjadi (probable) atau hanya kemungkinan terjadi (possible). Standar akuntansi yang berdasarkan prinsip kurang fleksibel dalam menghadapi masalah-masalah yang dialami oleh bangsa-bangsa dengan lingkungan yang berbeda. Sehingga standar menjadi tidak memadai.
Menurut Herdman (2002) dalam testimoninya “Are Current Financial Accounting Standards Protecting Investors”, standar akuntansi yang ideal adalah standar yang berbasis prinsip dan mensyaratkan pelaporan keuangan dapat mencerminkan substansi ekonomi dari suatu transaksi (bukan sekadar bentuk transaksi tersebut). Standar yang ideal akan menghasilkan keseimbangan antara aturan dan prinsip.
Dalam paper DiPiazza et al (2008), standar akuntansi berbasis prinsip mempunyai karakteristik-karakteristik yang diyakini sebagai unsur pelaporan keuangan yang berkualitas. Karakteristik-karakteristik tersebut adalah: (1) Penyajian dengan sebenarnya (faithful presentation) realitas ekonomi, (2) Responsif terhadap kebutuhan pengguna laporan keuangan akan kejelasan dan transparansi, (3) Konsisten dengan Kerangka Konseptual, (4) Didasarkan pada lingkup yang ditentukan dengan tepat yang ditujukan pada area akuntansi yang luas, (5) Ditulis dengan bahasa yang jelas, ringkas, dan sederhana, dan (6) Memungkinkan penggunaan pertimbangan yang masuk akal.
Penyusun laporan keuangan harus mampu menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk melaporkan dengan sebenarnya substansi ekonomi perusahaan. Proses pelaporan keuangan tidak lagi diarahkan untuk mencari aturan yang mengatur bagaimana mencatat suatu transaksi atau membuat pengungkapan. Namun, proses pelaporan keuangan akan lebih menekankan penggunaan pertimbangan profesional. Oleh karena itu, penyusun laporan keuangan dan auditor harus diberi ruang untuk menggunakan pertimbangan profesional mereka dan yakin akan pertimbangan mereka. Sedangkan bagi regulator, harus menitikberatkan pada ketepatan pertimbangan yang mendasari laporan keuangan yang merupakan esensi dari pelaporan keuangan yang baik. Laporan keuangan yang dihasilkan oleh standar akuntansi berbasis prinsip harus jelas dan mudah dimengerti.
Artikel CSR

CSR BUMN Perannya Jauh Lebih Baik

Pembangunan suatu daerah, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah (Pemkab) saja sebagai suatu institusi formal, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama. Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.   Demikian halnya dengan sebuah perusahaan,  telah ada program implementasi perusahaan terha­dap tanggung jawab sosialnya, jauh sebelum dikenal dengan istilah saat ini yaitu Corporate Social Responsibility (CSR). SG sebagai perusahaan persemenan nasional terbesar dan terkemuka, apalagi sebagai BUMN, tidak diragukan lagi perannya ikut aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitarnya. 
”Kelebihan BUMN dibanding dengan perusahaan lain adalah memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi,” kata Sofyan A Djalil saat pencanangan Pabrik Tuban IV kemarin. Perusahaan-perusahaan besar juga telah menyadari bahwa CSR bukanlah biaya tetapi merupakan investasi perusahaan, karena citra perusahaan di mata masyarakat sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.  Bahkan, lanjut Sofyan, sejak lahirnya BUMN biasanya sudah embeded dengan program CSR. 
”Dengan perubahan berbagai istilah, seperti Program Community Development, telah ada jauh  sebelum CSR diundang-undangkan akhir-akhir ini,” ujarnya.  Selain itu tidak diragukan lagi kontribusi BUMN terhadap APBN, selain juga merupakan instrumen kebijakan publik. ”Artinya BUMN perannya jauh lebih baik dibanding perusahaan swasta,” tegasnya.
Dengan demikian tidak diragukan lagi karena SG berada di Tuban tentunya akan memberi nilai tambah bagi masyarakat Tuban.  Meskipun demikian SG tetap profesional dalam mengelola perusa­haannya, terbukti, lanjut Sofyan, SG saat ini telah dijadikan standar bagi pengelolaan Pabrik Semen, karena tercatat merupakan pabrik semen paling efisien. 
Gubernur Jatim, Soekarwo yang hadir dalam acara seremonial itu, juga yakin bahwa SG telah banyak berperan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masya­rakat khususnya masyarakat Tuban.  Karena memang keberadaan suatu perusahaan selalu membutuhkan du­kungan masyarakat dan lingkungan­nya.  Ia juga yakin SG telah melakukan berbagai kegiatan lingkungan sebagai­mana yang telah disampaikan Menneg BUMN, seperti kegiatan reboisasi, dll. 
Sedangkan Bupati Tuban Haenny Relawati diawal sambutannya telah menyampaikan apresiasinya kepada SG atas komitmennya dalam mengedepankan kepatuhan terhadap UU yang berlaku di Kabupaten. Namun demikian ia berharap agar lebih konsisten terhadap pembangunan SDM, tidak hanya pada aspek pendidikan dan kesehatan tetapi juga dalam hal lingkungan hidup dan pertanian.  ”Alhamdulillah SG telah mengedepankan koordinasi dan komunikasi yang intensif dengan pemkab Tuban,” jelasnya. 
Dengan investasi yang tertanam di Tuban IV Haeny berharap akan dapat memberi nilai tambah dan kontribusinya bagi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Dirut Dwi Soetjipto juga menegaskan bahwa dalam aspek membangun daya saing, SG tetap berpegang pada prinsip triple bottom line, yang merupakan perpaduan antara kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan sosial kemasyarakatan, sehingga diharapkan akan berdampak positif dan optimal bagi para stakeholder.  Upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat tersebut telah lama dilakukan SG, baik melalui program kemitraan bagi UKM dan program-progam bina lingkungan dan sosial lainnya.  ”Dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Tuban dan Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Alhamdulillah program-program tersebut dapat berjalan dengan baik, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya,” ujarnya.
Selain itu, perusahaan telah banyak terlibat dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang telah dilakukan sejak pertama berdirinya pabrik SG di Tuban.  Baik secara mandiri atau dengan seluruh BUMN se Jatim yang baru dilakukan akhir tahun lalu, misalnya program penanaman sejuta pohon.    Upaya lain yang telah ditempuh perusahaan berupa penghijauan kembali bekas lahan tambang, termasuk program green belt dan green barier. ”Saat ini perusahaan telah merintis program mekanisme pembangunan bersih (CDM) dengan menggunakan tambahan bahan bakar alternatif,  semua itu merupakan bukti komitmen SG untuk ikut memperhatikan lingkungannya,” ungkapnya.

Sumber : http://www.semengresik.coma

0 Response to "Artikel GCG, IFRS, dan CSR"

Post a Comment