Sisi Gelap Jurnalistik

sisi gelap jurnalistikBANYAK media “terjerumus” ke dalam sisi gelap jurnalistik (the dark side of journalism) saat Pilpres 2014. Metro TV “mengabdi” pada kubu Jokowi-JK. TV One menjadi “corong” kubu Prabowo-Hatta.

Polarisasi juga terjadi di media cetak dan media online juga. Media “terbelah” menjadi dua kubu itu. Satu kubu gencar memberitakan keunggulan dan kebaikan kubu Jokowi, seraya “menembak” sisi buruk kubu Prabowo. Demikian pula kubu lainnya, gencar membela Prabowo dan menyudutkan Jokowi dalam pemberitaannya.


Media memang tidak bisa netral. Tidak ada kamus netralitas di dunia jurnalistik. Yang ada, independensi! Kebebasan pers, yaitu bebas mempublikasikan apa saja yang bernilai berita –aktual, faktual, penting, dan menarik.

Karena independensi itu pula, media bebas “memihak” atau condong membela satu pihak dan mengabaikan pihak lain. Pemihakan itu sah secara jurnalistik, atas dasar independensi itu, selama pemihakan itu tetap ada dalam koridor, etik, dan khitah jurnalistik: akurat (accuracy), berimbang, (balance), dan jujur (fairness).

Sayangnya, selama Pilpres 2014, kita menyaksikan banyak (kalau tidak kebanyakan) media terjerumus ke sisi gelap jurnalistik, yakni dari media informasi (to inform), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain), dan pengawasan sosial (social control) menjadi MEDIA PROPAGANDA!

Perubahan haluan media itulah –baik karena dibayar mahal maupun karena dorongan ideologis– yang disebut “sisi gelap jurnalistik” (the dark side of journalism), yakni ketika media, wartawan, atau pers bukan lagi mengabdi pada kepentingan publik, tapi mengabdi pada kepentingan politik tertentu.

Para wartawan pun kehilangan idealisme. Setidaknya, terjadi “perang batin” dalam diri wartawan, ketika mereka harus menulis berita yang tidak sesuai dengan hati nurani. Ada “keterpaksaan” dalam menulis berita, suatu hal yang tabu bagi wartawan.

Menurut Guru Besar Komunikasi Simon Fraser University (SFU) Kanada, Kathleen Cross, ketika para wartawan masuk ke wilayah politik seperti itu, mereka bukan saja menggeser kariernya, tapi juga mengubah idealismenya.  When journalists move into political communications, they’re not just shifting their careers, they’re shifting their ideals,” katanya seperti dikutip Belinda Alzner dalam tulisannya di The Canadian Journal Project, “When Journalist go to the dark side”.

Cross menjelaskan, ideologi jurnalisme adalah “memegang kebenaran kepada kekuasaan” (hold truth to power) dengan menginformasikan aksi pemerintah atau warga.
Sisi gelap jurnalistik juga terjadi ketika muncul konsep Corporate Journalism (jurnalisme untuk kepentingan perusahaan) dan Corporate Blogging (blogging untuk kepentingan perusahaan).

Namun, sisi gelap jurnalistik dalam konteks bisnis itu “tidak sepanas” dan “tidak semerusak” saat jurnalistik dikendalikan oleh kekuatan dan kepentingan politik.
Khitah jurnalistik adalah loyalitas kepada warga (publik), kebenaran fakta, akurat, berimbang, dan demi kepentingan publik. Jika khitah itu dilabrak, maka terjadilah “sisi gelap jurnalistik” yang membuat publik kehilangan kepercayaan kepada media dan media pun kehilangan kredibilitas.

Bagaimanapun, media sektarian tidak akan menguntungan secara bisnis dan ideal. Kalaupun beruntung, hanya sesaat, dan butuh waktu lama sekali untuk membangunnya kembali: mengubah sisi gelap (dark side) menjadi sisi terang (brigt side) jurnalisme.
Sisi gelap jurnalistik lainnya adalah suap, ketika wartawan menerima suap dan/atau menyalahgunakan profesinya untuk memeras atau mengancam. Kehadiran media abal-abal dan wartawan gadungan (wartawan ampop, wartawan bodrex) juga termasuk sisi gelap jurnalistik. Wasalam.

– Published before @ www.baticnews.com

0 Response to "Sisi Gelap Jurnalistik"

Post a Comment